MENGGALI MAKNA PERISTILAHAN HUKUM
DALAM BAHASA HUKUM
INDONESIA
Disusun Oleh:
Rahmat Setiabudi Sokonagoro, Khotibul Umam,
Rahmat Setiabudi Sokonagoro, Khotibul Umam,
Afra Roki, Chandra
Dewi Puspitasari, Sri Widiyastuti
A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini
menunjukkan bahwa hukum merupakan elemen penting adanya Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Supremasi hukum merupakan suatu keniscayaan agar jalannya
pemerintahan bernegara berada dalam koridor hukum.
Seperti kita ketahui bersama bahwa hukum di Indonesia
masih banyak yang materinya berasal dari hukum peninggalan Belanda, dimana hal
ini mendapatkan pijakan yang kokoh secara hukum melalui Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini. Secara faktual hingga saat ini juga masih banyak
dijumpai lembaga-lembaga hukum peninggalan Belanda yang dipraktikan dalam
kehidupan sehari-hari, baik pada sektor legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dalam bahasa sehari-hari pun sering kita dengar masih
familiarnya penggunaan istilah-istilah tentang hukum, baik oleh praktisi hukum
maupun masyarakat awam. Walaupun demikian terkadang dalam penggunaannya kurang
sesuai dengan makna dari istilah yang bersangkutan diukur dari kacamata
teori-teori ilmu pengetahuan.
Peristilahan hukum yang muncul saat ini, ternyata
tidak hanya peristilahan hukum dari bahasa Belanda, beberapa dari bahasa lain
baik dari negara-negara Eropa Kontinental, Anglo Saxon, bahkan perkembangan
terbaru banyak muncul peristilahan dari bahasa Arab yang lebih banyak
dipraktikkan dalam Hukum Lembaga Keuangan. Istilah hukum sendiri sebenarnya
berasal dari Bahasa Arab hukm, yang kemudian telah diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi hukum, termasuk juga istilah keadilan dan kemanfaatan.
Contoh peristilahan dari bahasa Belanda yang masih
perlu dipertanyakan kebenarannya misalnya setiap orang dianggap tahu
undang-undang atau yang lebih dikenal dengan fictie hukum, lebih baik tidak
menghukum orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah,
tegakkanlah hukum meskipun langit akan runtuh (fiat justicia roat coelum), lex
specialis derogat legi generali, putusan hakim selalu dianggap benar (res
judicata pro veritate habetur) dan sebagainya. Sementara dari Anglo Saxon
System dikenal adanya istilah Memorandum of Understanding (MoU) yang dalam
realitas empiris sering dipersamakan dengan perjanjian. Kemudian peristilahan
dari bahasa Arab yang saat ini ada di masyarakat khusunya di bidang hukum
ekonomi dan keuangan misalnya mengenai pembiayaan mudharabah, pembiayaan
murabahah, pembiayaan musyarakah, pembiayaan qardh, riba, dan sebagainya.
Beberapa peristilahan tersebut jika ditinjau makna dan
penggunaannya sering kali kurang tepat, sukar diterapkan, dan beberapa menjadi
tidak logis serta cenderung hiperbolis. Penggunaan yang tidak tepat misalnya
penyamaan antara MoU dengan perjanjian, sementara istilah yang sukar
penerapannya misalnya adagium lex specialis derogat legi generali, dan
penggunaan istilah yang tidak logis dan hiperbolis misalnya hukum harus
ditegakkan meskipun langit runtuh (fiat justitia roat coelum).
Penggunaan-penggunaan istilah dimaksud ada yang tepat
ketika diimplementasikan dalam realitas praktik, pun beberapa dirasa kurang
tepat terutama jika ditinjau dari teori kebenaran dan teori keadilan. Kebenaran
dan keadilan merupakan unsur yang hendak dituju oleh hukum. Oleh karena itu
ketika berbicara tentang hukum orientasi kita adalah pada kebenaran dan
keadilan.
Berbicara mengenai istilah atau peristilahan berarti
kita masuk pembahasan mengenai bahasa, lebih khusus lagi dalam konteks ini
adalah bahasa hukum. Sementara ketika kita hendak menggali maknanya kita akan
masuk ke ranah filsafat ilmu, dan untuk mencari kebenaran dari istilah dan
penggunaannya kita akan menggunakan teori kebenaran. Setelah itu untuk
mengetahui dampak dari penggunaan istilah tertentu kita akan menggunakan teori
keadilan.
Menurut Kusumadi Pudjosewojo bahwa bahasa hukum
Indonesia masih mencari gayanya sendiri. Istilah-istilahnya masih belum tetap
dan sebagian besar masih merupakan terjemahan belaka dari istilah hukum
Belanda. Dengan demikian istilah atau kalimat Indonesia itu masih mencerminkan
pengertian hukum Belanda dan alam pikiran hukum Belanda. Lanjut Beliau bahwa
bahasa hukum berlainan daripada bahasa sehari-hari atau bahasa
kesusasteraan.[1]
Karakteristik bahasa hukum Indonesia selain terletak
pada komposisi, dan gaya bahasa yang khusus dengan kandungan arti yang khusus,
juga terletak pada istilah-istilah yang dipakai.[2] Hal ini disebabkan dalam
merumuskan, menyusun, menjabarkan ketentuan-ketentuan hukum para ahli hukum
demi kepentingan hukum itu sendiri perlu menggunakan kata, istilah atau
ungkapan-ungkapan yang jelas, teliti, pasti, seragam, dan bersistem.
Kamus Bahasa Indonesia sendiri tidak memuat secara
defenitif mengenai pengertian istilah tersebut, tetapi dalam buku yang berjudul
Bahasa Hukum Indonesia yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dapat
diambil kesimpulan bahwa istilah merupakan satu atau beberapa kata yang
digunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep. Mengingat istilah ini dalam
konteks istilah hukum, maka konsep yang diungkapkan tesebut merupakan sebuah
konsep tentang hukum. Sehingga, dapat dikatakan bahwa istilah hukum adalah satu
atau beberapa kata yang dipergunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep hukum.
Dalam filsafat ilmu dipertanyakan mengenai apakah ilmu
bebas nilai ataukah tidak dan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat membawa
perdebatan panjang namun hakikat ilmu tidaklah bebas nilai. Satu hal yang ingin
dihindari oleh kebanyakan ilmuwan namun kehadirannya sulit untuk di tolak
adalah kekuasaan. Kekuasaan memainkan peran besar dalam perkembangan ilmu –
baik secara langsung maupun tidak – karena para ilmuwan sulit untuk
memancangkan bendera otonomi ilmiah di dalam suatu negara yang meletakkan
kekuasaan sebagai faktor yang dominan dalam mengambil suatu kebijakan.
Kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara ke dua belah pihak-ilmuwan
dengan klaim kebenaran (truth claim-nya) berpeluang untuk terjadi.[3]
Bidang dari filsafat ilmu yang membicarakan ukuran
benar atau tidaknya pengetahuan yaitu Epistemologi yang secara etimologis
berarti teori pengetahuan. Adapun obyek material dari epistemologi adalah
pengetahuan, sedangkan obyek formalnya adalah hakikat ilmu pengetahuan itu
sendiri. Dengan demikian epistemologi sangat berguna bagi upaya untuk
menganalisis kebenaran dari suatu obyek, yang dalam hal ini adalah peristilahan
hukum.
Sementara dengan menggunakan analisis teori kebenaran,
maka akan dipakai teori kebenaran korespondensi, teori kebanaran koherensi, dan
teori kebenaran pragmatis. Kemudian karena dalam penggunaan peristilahan
tertentu sering kali berdampak pada unsur esensial dari hukum yaitu keadilan,
maka teori keadilan juga akan menjadi pisau analisis beberapa peristilahan
hukum tertentu, seperti adanya fiksi hukum bahwa setiap orang dianggap tahu
hukumnya dan ketidaktahuan terhadap hukum bukan merupakan alasan pemaaf.
Era reformasi membawa banyak perubahan demikian juga
dalam pola pemakaian bahasa dan pemilihan istilah, misalnya semakin banyaknya
istilah hukum dan lembaga hukum dari negara lain yang masuk dan digunakan dalam
praktik hukum di Indonesia.
Dengan demikian akhir-akhir ini makin dirasakan betapa
pentingnya fungsi bahasa sebagai media komunikasi. Pada kenyataannya dewasa
ini, selain ahli-ahli bahasa semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan
semakin memperdalam dirinya dalam mempelajari teori dan praktik bahasa.
Bahasa dan hukum merupakan satu kesatuan. Bahasa hukum
harus memenuhi syarat-syarat serta kaidah-kaidah bahasa karena bahasa hukum
mempunyai karakteristik tersendiri yang menyebabkan sulitnya masyarakat untuk
memahaminya. Rumitnya struktur bahasa hukum ini dipengaruhi oleh bahasa-bahasa
asing terutama bahasa Belanda dan juga kurangnya pengetahuan dari pembuat
undang-undang akan tata bahasa Indonesia sendiri. Di samping itu juga karena
masih adanya anggapan-anggapan bahwa dunia hukum itu terlalu formal dan
kompleks serta adanya ketidakpercayaan terhadap hukum pada umumnya.[4]
Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka Penulis
mempunyai ketertarikan untuk membahas mengenai peristilahan hukum dalam konteks
bahasa hukum Indonesia, sehingga makalah ini Penulis beri judul “Menggali Makna
Peristilahan Hukum dalam Bahasa Hukum Nasional”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di
atas, maka berbagai masalah dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana pemaknaan peristilahan hukum dalam
praktik di masyarakat?
2. Bagaimana jika pemaknaan dimaksud di tinjau dari
teori kebenaran dan teori keadilan?
C. PEMBAHASAN
1. Peristilahan Hukum dalam Praktik di Masyarakat
Bahasa, Bahasa Hukum, dan Bahasa Hukum Indonesia
Bahasa adalah kata-kata yang digunakan sebagai alat
bagi manusia untuk menyatakan atau melukiskan suatu kehendak, perasaan,
fikiran, pengalaman, terutama dalam hubungannya dengan manusia lain.[5] Bahasa
memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sering
dikatakan pula bahwa bahasa merupakan penjelmaan dari kehidupan manusia dalam
masyarakat. Dalam pergaulan manusia bahasa menjadi alat penghubung yang mampu
menyampaikan berbagai pesan. Pesan yang disampaikan tersebut berupa
simbol-simbol kebahasaan.
Sudjito mengungkapkan bahwa diantara simbol-simbol
tersebut ada yang berbentuk kata-kata (lisan), ada yang berbentuk tulisan, dan
ada pula yang berbentuk perlambang. Rangkaian dari simbol-simbol itulah yang
kemudian menjadikan sebuah bahasa terbentuk dan mempunyai makna. Hanya dengan
bahasa dan melalui bahasa proses pengenalan dan proses komunikasi dapat
berlangsung.[6]
Jika dilihat dari sejarah pertumbuhan bahasa sejak
awal hingga sekarang, maka fungsi bahasa secara garis besarnya adalah sebagai
berikut :[7]
1) Untuk menyatakan ekspresi diri
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri secara
terbuka segala sesuatu yang tersirat dalam diri manusia, sekurang-kurangnya
memaklumkan keberadaannya.
2) Sebagai alat komunikasi
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran
perumusan maksud kita, melahirkan perasaan dan memungkinkan manusia menciptakan
kerja sama sesama warga.
3) Sebagai alat menyatakan integrasi dan adaptasi
sosial
Disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, dengan
bahasa memungkinkan pula bagi manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman
mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman tersebut,
serta belajar berkenalan dengan anggota masyarakat, dapat mempelajari dan
mengenal segala adat istiadat, tingkah laku dan tata krama masyarakat lain.
4) Sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial
Kontrol sosial maksudnya adalah usaha untuk
mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang-orang lain. Tingkah laku itu
dapat bersifat terbuka (overt yaitu tingkah laku yang dapat diamati atau
diobservasi), maupun yang bersifat tertutup (covert yaitu tingkah laku yang
tidak dapat diobservasi). Seluruh kegiatan sosial akan berjalan dengan baik
karena dapat diatur dengan menggunakan bahasa. Dalam mengadakan kontrol sosial,
bahasa mempunyai hubungan dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.
Berkaitan dengan fungsi bahasa secara umum, maka
melalui bahasa pula penggalian, penguasaan dan penyebaran ilmu pengetahuan
dapat menjadi lebih efektif. Bahasa yang dipelajari dan dipakai dalam dunia
ilmu pengetahuan adalah bahasa ilmiah atau bahasa keilmuan. Bahasa ilmiah
mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat sebagaimana dikemukakan Anton M.
Moeliono:[8]
1) Lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan
ketaksaan;
2) Obyektif dan menekan prasangka pribadi;
3) Memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat
dan kategori yang diselidikinya untuk menghindari kesimpangsiuran;
4) Tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang
bersensasi;
5) Cenderung membakukan makna kata-katanya,
ungkapannya dan gaya paparannya berdasarkan konvensi.
6) Tidak dogmatik atau fanatik;
7) Bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang
dipakai;
Bentuk, makna dan
fungsinya lebih mantap dan stabil daripada yang dimiliki kata biasa.
Bahasa dan hukum memiliki kaitan yang erat. Hal
tersebut dapat diketahui dengan mengacu pada pendapat Sutan Takdir Alisyahbana
yang dikutip Harkristuti Harkrisnowo bahwa baik bahasa maupun hukum merupakan
penjelasan kehidupan manusia dalam masyarakat dan merupakan sebagian dari
penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu. Bahasa dan hukum itu
saling berhubungan, saling pengaruh, malahan dianggap sebagai penjelmaan
masyarakat dan kebudayaan, yang sebaliknya pula dipengaruhi baik oleh bahasa
maupun oleh hukum. [9] Dengan kata lain, ada hubungan yang erat antara bahasa
dan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu sarana untuk
menciptakan keteraturan dan ketertiban sosial masyarakat. Ketentuan hukum
tersebut utamanya dirumuskan melalui bahasa, khususnya bahasa hukum.
Bahasa hukum adalah bahasa (kata-kata) yang digunakan
untuk merumuskan dan menyatakan hukum dalam suatu masyarakat tertentu.[10]
Hukum hanya dapat berjalan efektif manakala ia dirumuskan melalui bahasa hukum
dengan tegas dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat,
dan harus dapat dikomunikasikan dengan baik pada subyek-subyek hukum yang
dituju.
Sebagai ilmu, bahasa hukum mempunyai obyek, metode dan
tujuan tertentu. Obyek garapan bahasa hukum adalah berupa tanda-tanda
kebahasaan yang biasa digunakan dalam hukum, meliputi bahasa verbal (lisan),
bahasa visual (tulisan), gerak/isyarat, benda-benda, dan warna tertentu. Ciri
khas bahasa hukum sebagai pengetahuan keilmuan terletak pada landasan ontologis
yang mengacu pada obyek garapan dan apa yang ingin diketahui dari kajian
terhadap obyek tersebut, landasan epistemologis yang menentukan metode yang
dipakai untuk memperoleh dan menggarap obyek yang ditentukan, sehingga hasil
garapan tersebut mempunyai makna dan landasan aksiologis yang menelaah tujuan
dari segenap aktivitas keilmuan dan pemanfaatannya.[11]
Secara garis besar penggarapan metode pengolahan
tanda-tanda kebahasaan itu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menyusun,
merangkai, atau mengorganisisr tanda-tanda kebahasaan tersebut sehingga
terwujud sebuah susunan atau bangunan baru yang punya struktur sehingga bisa
disebut sebagai bahasa hukum dan berusaha menafsirkan (menangkap atau mencari
makna) yang terkandung pada tanda-tanda kebahasaan yang telah ada dan hadir
dihadapan kita, sehingga kita tahu persis mengenai tujuan dan kemanfaatannya,
baik bagi diri sendiri maupun orang lain, dalam konteks asal dan aslinya maupun
dalam konteks keperluan penafsirnya. Sedangkan tujuan bahasa hukum adalah menyampaikan
pesan tentang kebenaran dan keadilan dari subyek yang menggarap tanda-tanda
kebahasaan kepada subyek lain.[12]
Simposium bahasa dan hukum tahun 1974 yang
diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional menghasilkan rumusan mengenai
apa yang dimaksud dengan bahasa hukum Indonesia. Bahasa hukum Indonesia
merupakan bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat
fungsinya mempunyai karakteristik sendiri, oleh karena itu bahasa hukum
Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kaedah-kaedah bahasa
Indonesia.[13] Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa hukum Indonesia sebenarnya
merupakan bagian dari bahasa Indonesia.
Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan
kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Namun dikarenakan
bahasa hukum adalah bagian dari bahasa Indonesia yang modern, maka dalam
penggunaannya ia harus tetap, terang, monosemantik dan memenuhi syarat estetika
bahasa Indonesia.[14] Sebagai bagian dari bahasa Indonesia, bahasa hukum
selayaknya juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia secara umum. Hal tersebut
dimaksudkan supaya tidak membuka peluang interpretasi ganda. Hal yang disebut
terakhir ini sangat penting untuk menghindari agar kepastian hukum dapat
dijamin.
Sebagian besar masyarakat masih merasa bahwa bahasa
hukum kita merupakan bahasa yang sulit dimengerti atau sulit dipahami. Hal
tersebut dapat saja terjadi karena bahasa hukum memiliki karakteristik
tersendiri yaitu yang terletak pada istilah-istilah, komposisi, serta gaya
bahasanya yang khusus dan kandungan artinya yang khusus pula.
Selain sulit dimengerti atau sulit dipahami, bahasa
Indonesia yang dipakai dalam dunia hukum ternyata seringkali tidak berhasil
memancarkan kandungan atau isi hukum dengan baik, sehingga mengakibatkan
seseorang menemui kesulitan menangkap makna hukum dalam sebuah perjanjian atau
peraturan.[15] Bahasa hukum Indonesia yang masih dipergunakan hingga saat ini
semantik[16] katanya masih belum baik, sehingga terkadang ditemukan
istilah-istilah yang tidak tetap dan kurang jelas.
Jika melihat kembali pada fungsi dasar bahasa yaitu
sebagai alat menyampaikan pesan dan tujuan bahasa hukum yaitu menyampaikan
kebenaran dan keadilan, maka bahasa hukum Indonesia masih memiliki
kekurangsempurnaan, khususnya dalam semantik kata (pemaknaan kata). Nampaknya
memang tidak ada salahnya apabila mulai sekarang bahasa hukum dibuat lebih
sederhana, tidak menimbulkan multiinterpretasi, sehingga tidak menimbulkan
kebingungan masyarakat awam, baik dalam pemaknaan maupun penerapan.
Teori Kebenaran dan Teori Keadilan
Pengetahuan dipandang dari jenis pengetahuan yang
dibangun dapat dibedakan sebagai berikut:[17]
1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge/Common Sense
Knowledge). Pengertian seperti ini bersifat subyektif, artinya amat terikat
pada subyek yang mengenal. Dengan demikian pengetahuan jenis pertama ini
memiliki sifat yang selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan
itu bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
2) Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah
menetapkn obyek yang khas atau spesifik dengan menerapkan pendekatan
metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan
kesepakatan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam
pengetahuan ilmiah bersifat relatif, karena kandungan jenis pengetahuan ilmiah
selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh hasil penemuan yang paling
mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami
pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan
persetujuan (agreement) oleh para ilmuwan sejenis.
3) Pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang
pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati. Sifat pengetahuan ini
mendasarkan dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan
spekulatif. Sifat kebenarannya adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya ialah
nilai kebenaran yang terkandung pada jenis pengetahuan filsafat selalu
merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan dari seorang filsuf serta
selalu mendapat pembenaran dan filsuf kemudian yang menggunakan metodologi
pemikiran yang sama pula.
4) Pengetahuan agama, yaitu jenis pengetahuan yang
didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertentu. Pengetahuan agama memiliki
sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu didasarkan pada
keyakinan yang telah tertentu, sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat
kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang
digunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna dari kandungan kitab suci itu
dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi
kandungan dimaksud dari ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya
absolut.
Dengan demikian sebuah pengetahuan memiliki kadar
kebenaran yang berbeda-beda, berdasarkan pada pengklasifikasian di atas maka
hanya pengetahuan agama yang nilai kebenarannya bersifat absolut, karena
berasal dari yang Maha Benar. Sementara untuk pengetahuan jenis lain memiliki
kebenaran yang sifatnya relatif. Untuk pengetahuan yang sifat kebenarannya
relatif ini perlu ditinjau dan dianalisis melalui perangkat tertentu untuk
mendapatkan kebenaran yang dituju. Adapun teori yang berbicara mengenai
kebenaran antara lain adalah sebagai berikut:
(1) Teori kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu
dianggap benar jika ada kesesuaian dengan fakta empiris, dalam artian bisa
ditangkap oleh panca indra.
(2) Teori kebenaran koherensi, yaitu menyatakan bahwa
suatu pernyataan dianggap benar manakala berhubungan dengan pernyataan
sebelumnya sehingga ada pernyataan berkesinambungan dan terjaga konsistensinya.
(3) Teori kebenaran pragmatis, teori ini menyatakan
bahwa suatu pengetahuan dianggap benar manakala hal tertentu itu bermanfaat
secara praktis bagi dirinya sendiri.
Unsur berikutnya yang dituju oleh hukum, termasuk
bahasa hukum sebagai bagian dari ilmu hukum adalah keadilan. Mengenai keadilan
ini mengalami perkembangan dari masa ke masa, bahwa adil bagi orang atau kelompok
tertentu belum tentu dirasa adil bagi orang atau kelompok lain. Ukuran keadilan
menjadi relatif ketika dihadapkan pada peristiwa konkrit.
Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan. Bahkan
ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan,
supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum. Pernyataan ini ada sangkut
pautnya dengan tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan
suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Hanya melalui suatu tata hukum yang adil
orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun
rohani.[18]
Arsitoteles dalam The Ethics of Aristoteles,
terjemahan J.A.K Thomson, yang disunting oleh S. Tasrif, menyatakan bahwa bila
orang berbicara tentang keadilan, yang mereka anggap secara pasti adalah adanya
suatu keadaan pikiran yang mendorong mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang adil, untuk bersikap secara adil, dan untuk tidak menginginkan hal yang
tidak adil.[19]
Aristoteles juga membedakan adanya dua macam keadilan,
yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa. Justitia distributiva
menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya,
sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya.[20]
Menurut Tasrif, ada empat syarat minimum agar keadilan
mendapat pernyataannya, yaitu: Pertama, yang adil itu adalah sekaligus
tengah-tengah dan kesebandingan. Kedua, dalam sifatnya sebagai tengah-tengah,
ia harus mempunyai dua ujung, dan diantara kedua ujung itu ia berada. Ketiga,
dalam sifatnya sebagai yang sebanding dari apa yang dibagi. Keempat, dalam
sifatnya sebagai yang adil, harus ada orang-orang tertentu untuk siapa hal itu
adil.[21]
Jadi, pengertian adil itu menurut Tasrif adalah
kebajikan yang sempurna karena ia melaksanakan kebajikan yang sempurna, yaitu
bahwa orang yang memiliki keadilan itu mampu menerapkannya terhadap pihak lain
dan bukan hanya dalam keadaan yang mengenai dirinya sendiri.
2. Pemaknaan Peristilahan Hukum Ditinjau dari Teori
Kebenaran dan Teori Keadilan
Penggunaan peristilahan hukum terutama yang berasal
dari istilah asing sebagaimana telah disebut pada bagian sebelumnya sering kali
tidak tepat ditinjau dari maknanya, dan dampaknya ketika istilah itu digunakan
dalam praktik hukum di masyarakat. Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa
istilah hukum yang ditinjau dari dua pisau analisis yaitu teori kebenaran dan
teori keadilan. Beberapa istilah hukum yang akan dianalisis pada bagian ini
adalah mengenai Memorandum of Understanding (MoU), teori fiksi hukum, dan
adagium hukum yaitu lex specialis derogat legi generali.
Pertama, Istilah Memorandum of Understanding berasal
dari dua kata, yaitu memorandum dan understanding. Dalam Black’s Law Dictionary
diartikan memorandum adalah “dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara
formal pada masa datang” (is to serve as the basis of future formal contract).
Sedangkan understanding diartikan sebagai “pernyataan persetujuan secara tidak
langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun
secara tertulis” (an implied agreement resulting from the express term of
another agreement, whether written or oral).[22]
Sehingga dirumuskan pengertian MoU adalah dasar
penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan pada hasil permufakatan
para pihak, baik secara tertulis maupun lisan. Secara gramatikal MoU biasa
diartikan sebagai nota kesepahaman.[23]
Beberapa pendapat memberi arti yang berbeda pula
tentang MoU, misalnya Munir Fuady mengartikan MoU adalah “perjanjian
pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian
lain yang mengaturnya secara detail, karena itu MoU berisikan hal-hal yang
pokok saja. Adapun mengenai lain-lain aspek dari MoU relatif sama dengan
perjanjian-perjanjian lain”.[24]
Erman Rajagukguk mengartikan MoU sebagai “dokumen yang
memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi
dari MoU harus dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan
mengikat”.[25]
Sehingga dari keseluruhan pengertian tersebut dapat
disimpulkan unsur-unsur MoU, yaitu: bersifat sebagai perjanjian pendahuluan,
dibuat oleh para pihak yang merupakan subjek hukum, wilayah keberlakuan yang
bisa meliputi regional, nasional, maupun internasional, substansi MoU adalah
kerjasama dalam berbagai aspek, Jangka waktunya tertentu.[26]
MoU sebenarnya tidak dikenal dalam hukum Indonesia,
tetapi sering dipergunakan dalam praktik. MoU dianggap sebagai kontrak yang
simpel dan tidak disusun secara formal, serta dianggap sebagai pembuka suatu
kesepakatan.[27]
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak
ditemukan ketentuan yang khusus mengatur tentang MoU, namun bila diperhatikan
substansi dari MoU sebagai perjanjian pendahuluan, maka dapat disimpulkan bahwa
MoU tunduk pada ketentuan perikatan pada umumnya dalam Buku III KUH Perdata.
Misalnya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian,
karena bagaimanapun ada unsur kesepakatan dalam pembuatan MoU. Selain itu dapat
pula dilihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.[28]
MoU dibuat dengan memiliki tujuan-tujuan tertentu
antara lain, yaitu sebagai berikut:
a. Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu
agreement nantinya, dalam hal prospek bisnisnya belum jelas benar, dan apakah
kerjasama selanjutnya akan ditindaklanjuti, sehingga dibuatlah MoU yang mudah
dibatalkan.
b. Penandatanganan kontrak masih lama karena masih
dilakukan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa
sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, maka dibuatlah MoU yang akan
berlaku sementara waktu.
c. Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu
untuk pikir-pikir dalam hal penandatanganan suatu kontrak, sehingga untuk
sementara dibuatlah MoU.
d. MoU dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif
teras dari suatu perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang lebih rinci
harus dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf yang lebih rendah namun lebih
menguasai secara teknis.[29]
Mengingat substansi MoU di mana adanya kesepakatan
kehendak untuk membuatnya, maka dikatakan MoU mempunyai kekuatan mengikat untuk
dilaksanakan layaknya sebuah perjanjian pada umumnya. Akan tetapi bila salah
satu pihak tidak memenuhi isi memorandum, pihak lain tidak mempersoalkan hal tersebut.
Sehingga para ahli pun belum memiliki jawaban yang pasti tentang kekuatan
mengikat MoU.
Ray Wijaya mengemukakan pendapatnya tentang kekuatan
mengikat MoU tersebut yaitu bahwa pertama, MoU hanya merupakan suatu gentlement
agreement yang tidak mempunyai akibat hukum, dan kedua, MoU merupakan suatu
bukti awal telah terjadi atau tercapai saling pengertian mengenai
masalah-masalah pokok.[30]
MoU sebagaimana tersebut di atas merupakan lembaga
hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon. Di tinjau secara keilmuan hukum
MoU merupakan janji untuk mengadakan perjanjian, dengan demikian pada dasarnya
belum mempunyai kekuatan mengikat layaknya perjanjian itu sendiri. Penggunaan
istilah MoU dalam tradisi Kontinental dengan mengkaitkan dengan teori kebenaran
lebih masuk ke dalam teori kebenaran pragmatis karena didasarkan pada manfaat
secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan manfaat.
Penggunaan MoU dalam praktik hukum di masyarakat
sebagaimana disinggung di atas seringkali tidak tepat, paling tidak penggunaannya
oleh masyarakat awam. Masyarakat kebanyakan masih menyamakan MoU dengan
perjanjian, sehingga dalam hal pihak lain tidak melaksanakan apa yang termuat
dalam MoU maka padanya seakan-akan dapat menggugat pihak lain tersebut. Kalau
ditinjau secara isi materi muatan yang ada di MoU seringkali secara substansial
sudah merupakan perjanjian, namun dalam kenyataannya yang dipakai adalah
istilah MoU. Adanya berpotensi menimbulkan dampak yuridis yang berkepanjangan,
sehingga bisa menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.
Kedua teori fiksi hukum. Fiksi menurut kamus bahasa
Indonesia adalah cerita rekaan, hasil khayalan pengarang.[31] Sedangkan hukum
diartikan sebagai peraturan resmi yang menjadi pengatur dan dikuatkan oleh
pemerintah, undang-undang, peraturan, patokan (kaidah ketentuan); mengenai
peristiwa alam yang tertentu; keputusan yang dijatuhkan hakim kepada
terdakwa.[32]
Menurut kamus hukum fiksi atau dalam bahasa aslinya
(bahasa Latin) Fictio adalah angan-angan, bentuk hukum, kontruksi hukum,
bangunan hukum, di samping peraturan undang-undang.[33]
Van Apeldoorn memberi pendapat fictie atau fiksi
adalah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai sesuatu hal yang
benar. Atau dengan kata lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada,
sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.[34]
Namun sebenarnya bahwa fiksi perundang-undangan itu
bukan fiksi sebenarnya, melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi. Fiksi
dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan
yang singkat, yaitu sebagai alat penolong untuk menghemat jumlah peraturan dan
pengertian.[35]
Fiksi hukum yang dikenal adalah “setiap orang dianggap
tahu akan undang-undang”.[36] Hal ini didasarkan pada suatu alasan, bahwa
manusia mempunyai kepentingan sejak lahir sampai mati. Setiap kepentingan
manusia tersebut selalu diancam oleh bahaya di sekelilingnya. Oleh karena itu
manusia memerlukan perlindungan kepentingan, yang dipenuhi oleh berbagai kaidah
sosial yang salah satunya adalah kaidah hukum. Karena kaidah hukum melindungi
kepentingan manusia, maka harus dipatuhi manusia lainnya. Sehingga timbul
kesadaran untuk mematuhi peraturan hukum, supaya kepentingannya sendiri
terlindungi. Dengan demikian ketidaktahuan akan undang-undang tidak merupakan
alasan pemaaf atau “ignorantia legis excusat neminem”.
Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah
tidak dapat dibuang. Akan tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat
dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan
yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi, padahal
pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur kehidupan
masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam peraturan-peraturan yang
dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah kewajiban ajaran
hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundang-undangan, dengan
kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana.
Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam
perundang-undangan dan dalam ajaran hukum menyebabkan kerugian yang besar.
Pemakaian fiksi hukum tersebut mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai
fiksi dengan tidak semestinya. Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur
yang bersifat ilmu pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan
fiksi. Akhirnya ahli hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum
tersebut, menjadi sangat lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum
memegang peranan juga dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat
berbahaya. Untuk hakim, fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan
hakim kemampuan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi,
kita dapat menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan
dalam proses menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan.
Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu
ciptaan saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang penting
yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut.
Kebenaran penggunaan fiksi hukum patut diragukan jika
ditinjau dari teori-teori kebenaran yang ada. Secara logis adanya juga tidak
dapat dibenarkan secara ilmiah, karena kenyataannya justru sebaliknya walaupun
peraturan hukum dimaksud dituangkan dalam Lembaran Negara. Aparat penegak hukum
pun mungkin banyak juga yang tidak mengerti mengenai peraturan-peraturan hukum
tertentu, karena jumlahnya yang sangat banyak.
Ditinjau dari teori keadilan penggunaan fiksi hukum
berpeluang menimbulkan ketidakadilan, karena orang yang benar-benar tidak
mengetahui peraturannya dikenai hukuman yang sama dengan orang yang tahu. Jika
ditinjau dari aspek kepastian hukum fiksi hukum ini justru diperlukan sehingga
tidak ada peluang seseorang berkelit dari jerat hukum.
Ketiga, asas lex specialis derogat legi generali
artinya peraturan yang bersifat umum dikesampingkan oleh peraturan yang
bersifat khusus dengan syarat peraturan dimaksud berada dalam hierarki yang
sejajar. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib
diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk
peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut
peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa
khusus tersebut.[37]
Contoh pengakuan terhadap asas lex specialis derogat
legi generali dalam bidang hukum pidana materiil dapat dilihat dalam Pasal 103
KUHP yang menyatakan: “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang
lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain”.
Sedangkan dalam bidang hukum pidana formil, namapak di dalam isi Pasal 284 ayat
(2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ” (2) Dalam waktu dua tahun
setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu,
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Memang benar
bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) butir i Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, ”(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: mengadakan penghentian
penyidikan. Sebagai alasan dari penghentian penyidikan perhatikan isi
Pasal 109 ayat (2) yang menyatakan: ”(2) Dalam hal
penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penghentian
penyidikan demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), maka penyidik
memberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Memang benar
sesuai dengan Pasal 14 huruf h dinyatakan bahwa Penuntut umum mempunyai
wewenang: h. Menutup perkara demi kepentingan hukum Sebagai alasan dari
penghentian penuntutan perhatikan isi Pasal 140 ayat (2) a. Dalam hal penuntut
umum memutuskan untuk menghentikan penunutan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum penuntutan umum menuangkan dalam surat ketetapan.
Dari dua produk hukum tersebut diberikan dasar hukum
untuk adanya pengaturan yang berbeda terhadap apa yang telah diatur dalam undang-undang
generalisnya. Dapatlah disebut mulai dari Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai
dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam posisi Lex specialis),
kesemuanya mempunyai materi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil) yang
berbeda dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (legi
generali).
Satu lagi contoh pertentangan antara undang-undang
yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengembalikan kepada asas hukum lex
speciali derogat legi generali yakni antara Undang-Undang Pokok Agraria dengan
Undang-Undang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, dalam salah satu pasalnya terdapat pertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yakni pada pasal
yang mengatur tentang pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang lebih
lama (dalam UUPM) dibandingkan dengan jangka waktu yang diatur oleh UUPA.
Padahal sudah jelas, bahwa Undang-Undang Pokok Agraria, konsepsi awalnya adalah
Undang-Undang Payung (umbrella act) atau Undang-undang pokok. Undang-undang ini
juga bersifat sektoral, dimana terdapat dua sektor yang saling bertentangan,
yakni sektor pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) dan sektor Investasi (Badan
Koordinasi Penanaman Modal). Pengaturan masing-masing undang-undang juga tidak
membuka kemungkinan untuk merujuk pada suatu aturan yang lebih khusus. Sehingga
pasal yang saling bertentangan tersebut menjadi tidak dapat berlaku (invalid).
Berdasarkan pada kondisi ini tampak bahwa peristilahan
hukum berupa asas hukum lex specialis derogat legi generali tidak implementatif
ketika diberlakukan. Munculnya Undang-undang Penanaman Modal tersebut untuk
alasan praktis dapat dibenarkan, yaitu untuk menciptakan iklim investasi yang
kondusif sehingga arus investasi akan masuk yang pada akhirnya ditujukan untuk
kepentingan pembangunan.
Fenomena ini jika ditinjau dari teori keadilan
berpotensi menimbulkan kondisi tidak adil, karena kebijakan yang tadinya
ditujukan untuk kepentingan rakyat dalam realitas praktis justru hanya
menguntungkan investor. Hanya investor dengan capital kuatlah yang akan
melakukan eksploitasi terhadap kekayaan bangsa ini.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan mengenai peristilahan
hukum dalam bahasa hukum Indoensia tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
a. Pemaknaan peristilahan hukum dalam praktik di masyarakat
ternyata tidak selalu tepat, bahkan ada beberapa istilah yang penggunaannya
sama sekalii tidak tepat sehingga makna sesungguhnya menjadi hilang sama
sekali.
b. Dari sisi teori kebenaran dan keadilan beberapa
peristilahan hukum ada yang dapat dibenarkan, namun banyak yang tidak dapat
dibenarkan karena sangat kontekstual tergantung dari sudut mana kita
memandangnya dan standar apa yang kita pakai untuk mengukur kebenarannya.
2. Saran
Beberapa saran yang dapat disampaikan adalah perlu
adanya perhatian dari pemerintah untuk meluruskan istilah yang dimaknai salah
dalam praktik, misalnya dengan membuat undang-undang sebagai pedoman. Di
samping itu peran serta masyarakat juga masih diperlukan, misalnya dari
kalangan akademisi dan profesional yang memang mengetahui makna istilah
tersebut dengan tepat untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat.
Diharapkan pula kalangan praktisi tidak turut melestarikan penggunaan istilah
yang salah kaprah, hanya karena dunia praktis sudah terlanjur terus menerus
menggunakan suatu istilah dengan tidak tepat. Justru harus ada upaya untuk
mendobrak salah kaprah tersebut sehingga masyarakat tidak terjebak dalam
kesalahan dan bahkan tidak mengetahui bahwa suatu istilah itu dimaknai dengan
salah.
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoorn, L.J. Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum.
Cetakan kedua puluh sembilan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary,
Sixth Edition. USA: West Publishing Company.
Dahlan, M. Shodiq. 1989. Hukum Alam dan Keadilan.
Bandung: Remaja Karya.
Fajri, EM Zul, dkk. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Difa Publisher.
Fuady, Munir. 1997. Hukum Bisnis dalam Teori dan
Praktik. Buku Keempat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Bahasa Hukum Indonesia,
Bandung : Penerbit Alumni. Sudjito. 2007. Dinamika Bahasa Hukum. Makalah yang
disampaikan pada diskusi bulanan dosen-dosen Fakultas Hukum UGM, 15 Desember
2007 di Debating Room FH UGM, Bulaksumur. Yogyakarta.
Hamzah, Andi. 1986.Kamus Hukum Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Harkrisnowo,Harkristuti. 2004. Bahasa Indonesia
Sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional. www.khn.go.id. Tanggal akses 23
Februari 2008.
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Mahadi, Sabarudin. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum
Indonesia, Bandung : Rosda Offset.
Mertokusumo, Sudikno R.M. (b). Teori dan Politik
Hukum. Bahan Ajar Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.
Mertokusumo, Sudikno. (a). 1999. Mengenal Hukum (Suatu
Pengantar). Yogyakarta: Liberty.
Mustansyir, Rizal. Dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pudjosewojo, Kusumadi. 1997. Pedoman Pelajaran Tata
Hukum Indonesia. Cetakan kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika.
Purbacaraka, Purnadi, dkk. 1979. Perundang-undangan
dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni.
Rajagukguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang Internasional
dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: Universitas Inonesia.
Salim HS, H. (a). 2007. Perancangan Kontrak dan
Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika.
Salim HS, H. (b). 2006. Hukum Kontrak. Teori dan
Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan ketiga. Jakarta: Sinar Grafika.
Siregar, Mustafa. 2003. Bahasa Hukum. Artikel pada
Jurnal Compendium Ilmu Hukum dan Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan USU. Medan.
Wijaya, I. G. Ray. 2003. Merancang Suatu Kontrak
(Contract Drafting) Teori dan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Kasaint Blanc.
[1]Pudjosewojo, Kusumadi. 1997. Pedoman Pelajaran Tata
Hukum Indonesia. Cetakan kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 52.
[2]Siregar, Mustafa. 2003. Bahasa Hukum. Artikel pada
Jurnal Compendium Ilmu Hukum dan Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan USU. Medan. Hal 5.
[3]Mustansyir, Rizal. Dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Hal 171-172.
[4]Siregar, Mustafa. Op. Cit. Hal 1.
[5] Hadikusuma, Hilman. 1992. Bahasa Hukum Indonesia,
Bandung : Penerbit Alumni. Hal 8.
[6] Sudjito. 2007. Dinamika Bahasa Hukum. Makalah yang
disampaikan pada diskusi bulanan dosen-dosen Fakultas Hukum UGM, 15 Desember
2007 di Debating Room FH UGM, Bulaksumur. Yogyakarta. Hal 1.
[7] Keraf, Gorys dalam Mustafa Siregar. Op.cit. Hal 3.
[8] Moeljono, Anton M. dalam Hilman Hadikusuma. Op
Cit. Hal 8-9.
[9] Harkrisnowo,Harkristuti. 2004. Bahasa Indonesia
Sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional. www.khn.go.id. Tanggal akses 23
Februari 2008.
[10] Mahadi, Sabarudin. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum
Indonesia, Bandung : Rosda Offset. Hal 50.
[11] Sudjito, Op. Cit. Hal 2.
[12] Ibid. Hal 3.
[13] Hadikusuma, Hilman. Op. Cit. Hal 194.
[14]Ibid. Hal 3.
[15] Siregar, Mustafa. Op. Cit. Hal 12.
[16] Semantik adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
makna atau arti kata-kata hukum.
[17] Ibid. Hal 23-25.
[18] Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius. Hal 64.
[19] Dahlan, M. Shodiq. 1989. Hukum Alam dan Keadilan.
Bandung: Remaja Karya. Hal 25.
[20] Mertokusumo, Sudikno. (a). 1999. Mengenal Hukum
(Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.Hal 72
[21] Dahlan, M. Shodiq. Op. Cit. Hal 26.
[22] Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law
Dictionary, Sixth Edition. USA: West Publishing Company.
[23] Salim HS, H. (a). 2007. Perancangan Kontrak dan
Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 46.
[24] Fuady, Munir. 1997. Hukum Bisnis dalam Teori dan
Praktik. Buku Keempat. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm 91.
[25]Rajagukguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang
Internasional dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: Universitas Inonesia. Hlm 4.
[26] Ibid. Hlm 47.
[27] Salim HS, H. (b). 2006. Hukum Kontrak. Teori dan
Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan ketiga. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 124.
[28] Salim HS, H. (a). Op. Cit. Hlm 48.
[29] Fuady, Munir. Op. Cit. Hlm 91-92.
[30] Wijaya, I. G. Ray. 2003. Merancang Suatu Kontrak
(Contract Drafting) Teori dan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Kasaint Blanc.
Hlm 102.
[31] Fajri, EM Zul, dkk. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. Difa Publisher.
[32] Ibid.
[33] Hamzah, Andi. 1986.Kamus Hukum Jakarta: Ghalia
Indonesia.
[34] Apeldoorn, L.J. Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum.
Cetakan kedua puluh sembilan. Jakarta: Pradnya Paramita. Hlm 407.
[35] Ibid. Hlm 408-410.
[36] Mertokusumo, Sudikno R.M. (b). Teori dan Politik
Hukum. Bahan Ajar Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.
[37]
Purbacaraka, Purnadi, dkk. 1979. Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung:
Alumni. Hal 16-17.